Undang-Undang ITE dan Defacer
Selang beberapa lama setelah insiden
tersebut, bermunculan pendapat tentang kasus tersebut. Ada mentri yang
mengatakan bahwa lembaganya tidak kesulitan melacak pelaku serangan
tersebut. Ada juga utusan Polri dalam sebuah dialog di salah satu
stasiun TV swasta mengatakan akan menangkap pelaku karena sudah
melanggar UU ITE.
Melihat dagelan tersebut saya hanya tersenyum simpul, mengapa? ujug-ujug
tidak menyelesaikan masalah malah UU ITE yang masih merupakan “barang
dewa” bagi penyidik dibawa-bawa. Sebenarnya tidak salah membawa UU ITE,
tapi saya memandang itu merupakan jawaban spontan dan “escape route” atas terdesaknya pihak yang berwenang dalam mengungkap insiden itu. Saya akan kutipkan salah satu pendapat tersebut:
Pelaku terancam melanggar UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU UU Nomor 11 Tahun 2008 menyatakan memberikan perlindungan terhadap informasi pribadi dan memberikan perlindungan yang lebih terhadap informasi yang menyangkut pelayanan publik…pelaku dapat dikenakan Pasal 33 jo. Pasal 49 jo. Pasal 52 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik…”Pelaku terancam maksimal pidana pokok ditambah 1/3-nya. Yaitu penjara maksimal 10 tahun ditambah 1/3, jadi 13.33 tahun, serta denda Rp 10 miliar ditambah 1/3, jadi Rp 13.33 miliar,”…Selain itu, karena tujuan peng-hack-an adalah untuk memfitnah polisi, pelaku terancam melanggar Pasal 27 ayat (3) jo. 45 ayat (1) UU ITE tentang pendistribusian dan pentransmisian Informasi Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan pencemaran nama baik. Pelaku terancam pidana maksimal penjara 6 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.”Artinya terdapat gabungan tindak pidana. Jika diakumulasi pelaku terancam pidana maksimal penjara 17.78 tahun ditambah 6 tahun dan denda Rp 17.78 miliar ditambah Rp 1 miliar. Jadi pelaku terancam maksimal penjara 23.78 tahun denda Rp 18.78 miliar,”